Urgensi Niat dan Ikhlas
TUGAS KELOMPOK HADITS TARBAWI II
URGENSI NIAT DAN IKHLAS
Dosen Pengampu : M. Zainul Abidin, MA
Oleh : Anani Nasofah
Asri Nurfitria
Lutfhi Salma Gozali
Nisa Khoerunnisa
Rifa Nurfalah
A.
Nash Hadits
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول:
“إنما الأعمال بالنيات،
وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله،
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”.
رواه إماما المحدثين: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو
الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح
الكتب المصنفة.
B.
Tarjamah
Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta’ala
‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan
setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang
hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang
diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada
apa-apa yang ia inginkan itu.”
C.
Tahrijul Hadits
- Imam Bukhari, Jami’ush
Shahih, No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553
- Imam Muslim, Jami’ush
Shahih, No. 1907
- Imam At Tirmidzi, As
Sunan, No. 1698
- Imam Abu Daud, As
Sunan, No. 2201
- Imam Ibnu Majah, As
Sunan, No. 4227
- Imam Al Baihaqi, As
Sunan Al Kubra, No.181, 2087, 12686, 14773
- Imam Ibnu Hibban,
Ash Shahih, No. 388, 4868
Diriwayatkan oleh
Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin
Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab Shahih mereka, yang berjudul sama,
Jami’ush Shahih. yang merupakan kitab hadits paling shahih.
D. Asbabul Wurud
Berkata Imam Ibnu Daqiq
Al ‘Id:
نقلوا أن رجلا هاجر من مكة إلى المدينة لا يريد بذلك فضيلة الهجرة، وإنما هاجر
ليتزوج امرأة تسمى أم قيس
“Mereka meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekkah
menuju Madinah, dengan hijrahnya itu dia tidak menghendaki keutamaan hijrah.
Dia hanya menghendaki agar dapat menikahi seorang wanita yang bernama Ummu
Qais.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh
Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 27. Maktabah Al Misykah. Imam Ibnu Hajar, Fathul
Bari, 1/10. Darul Fikr)
Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut
Tatsrib(2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang
shahabat –sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan
lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang
disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya
adalah Qilah”. Sehingga di dalam sejarah, laki-laki tersebut
dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais.
Walaupun sababul wurud hadits ini karena laki-laki tersebut, namun
nilai dan hukum yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi manusia lain
secara umum. Hal ini sesuai kaidah: Al ‘Ibrah bi ‘umum al lafzhi laa bi
khushush as sabab (Pelajaran bukanlah diambil dari sebabnya yang spesifik,
tetapi dari makna lafaznya secara umum).
Sebagai kesimpulan
bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau
dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka
ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang
menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.
E. Pembahasan Bahasa
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال :“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, dia
berkata:”
Amirul Mu’minin artinya pemimpin
orang-orang beriman, yakni orang yang mengurus berbagai urusan (Al Umur)
kaum beriman yang berada dalam jangkauan wilayah kekuasaannya. Umar bin Al
Khathab Radhiallahu ‘Anhu adalah orang pertama yang dipanggil dengan
sebutan gelar ini. Orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan ini adalah
Abdullah bin Jahsy, dan menurut riwayat lainnya adalah Amr bin Al ‘Ash dan
Mughirah bin Syu’bah. Sejak itu panggilan Amirul Mu’minin menjadi
panggilan baku bagi khalifah selanjutnya.
Bahkan pada masa selanjutnya, istilah tersebut juga dipakai oleh para ulama
hadits yakni Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin orang beriman dalam
hadits) sebuah gelar tertinggi yang diberikan kepada ahli hadits. Di antara
ahli hadits yang menyandang gelar ini pada masanya masing-masing adalah Imam Al
Bukhari dan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
: سمعت رسول الله صلى الله
تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Ala
Aalihi Sallam bersabda:”
Ucapan Umar, Sami’tu (Aku Mendengar) menunjukkan bahwa hadits
ini didengarnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tanpa perantara orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
وفي قوله سَمِعْتُ دليل على أنه أخذه من النبي صلى الله عليه وسلم بلا واسطة. والعجب أن هذا الحديث لم يروه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا عمر رضي
الله عنه مع أهميته، لكن له شواهد في القرآن والسنة.
“Ucapannya ‘Aku Mendengar’ merupakan dalil bahwa Beliau mengambil hadits
ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tanpa
perantara. Mengagumkannya adalah bahwa hadits sepenting ini tidak ada sahabat
yang meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
kecuali Umar Radhiallahu ‘Anhu. Tetapi hadits ini memiliki syawahid
(banyak saksi/penguat) dalam Al Quran dan As Sunnah.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Arba’in An Nawawiyah Hal.
3. Mawqi’ Ruh Al Islam)
إنما الأعمال بالنيات :”Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat”
Kata innama adalah –sebagaimana kata para ulama muhaqqiq
(peneliti)- Lil Hashrللحصر)) yakni sebagai pembatas, sehingga dia bermakna ‘Sesungguhnya hanyalah’
. Sebagai itsbat (penetap) dari hukum dari hal yang disebutkan
setelahnya.
Dengan kata lain tidak ada amal kecuali dengan niat. Jika dikatakan: Zaidun
Qaaimun (Zaid sedang berdiri). Maka ini tidak ada pembatasan, bisa saja
Zaid berdiri sambil makan, bersandar, atau aktiftas lainnya. Tetapi jika
dikatakan Innama Zaidun Qaaimun (Sesungguhnya Zaid hanyalah sedang
berdiri), maka ini sudah ada pembatasan bahwa aktifitas zaid cuma berdiri,
tidak yang lainnya.
Al A’mal adalah jamak (plural)
dari ‘amal (perbuatan), sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat. Al
A’mal mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik perbutan hati, lisan, dan jawarih
(anggota badan). Amal hati seperti tawakkal kepada Allah, kembali dan takut
kepadaNya. Amal lisan seperti berbicara dan makan. Amal jawarih seperti
perbuatan tangan dan kaki dan yang semisalnya.
An Niyyat –dengan huruf Ya’
ditasydidkan- adalah jamak dari niyyah yang bermakna ‘azmul qalbi
(tekad di hati). Di juga bermakna Al Qashdu (maksud).
Secara syariat menurut
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin niat bermakna:
العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي
ولاتعلق للجوارح بها
Tekad (keinginan kuat)
untuk melaksanakan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’la, letaknya di
hati, dan dia termasuk amal hati yang tidak tergantung dengan perbuatan anggota
badan. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah hal. 4-5.
Lihat juga Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 2. Maktabah Al Misykah. JugaImam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh
Al Arba’in An nawawiyah, Hal. 26. Maktabah Al Misykah)
Maka, amal perbuatan dikatakan SAH sebagai perbuatan, jika dibarengi niat
untuk melaksanakannya. Tanpa niat, itu dinamakan ketidaksengajaan, rekayasa
atau sandiwara, walau secara lahiriyah juga nampak adanya perbuatan tersebut.
وإنما لكل امرئ ما نوى :“dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai
yang diniatkannya.”
Maksudnya, hasil akhir yang didapatkan seseorang dari perbuatannya
tergantung niat apa dibalik perbuatannya itu, dia tidak akan mendapatkan selain
yang diniatkannya.
Syaikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
“Barangsiapa yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri
shalat berjamaah, atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al Quran,
maka dengan ini dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada pun
yang masuk ke masjid untuk melakukan amal yang tidak ada kaitan dengan perkara
agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya itu, dan
tidak mendapatkan pahala.”(Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh
Sunan Abi Daud, No. 066. Maktabah Al Misykah)
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله :“Maka,
barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah
kepada Allah dan RasulNya”
Kalimat ‘faman’ (Maka barang siapa), secara khusus yang
dimaksud dalam hadits ini adalah seorang laki-laki yang berhijrah dari mekkah
ke Madinah bukan karena mencari keutamaan hijrah tetapi karena mengincar
seorang wanita yang ingin dinikahinya.
Kalimat ‘Kanat hijratuhu’ (yang hijrahnya),
yakni hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah tiga belas tahun da’wah di Mekkah
mengalami penindasan. Dahulu Madinah dinamakan Yatsrib, dan hijrah tersebut
adalah yang kedua, setelah hijrah pertama ke Habasyah (Etiopia).
Peristiwa ini menjadi titik tolak awal penanggalan tahun Hijriyah.
Perintah hijrah ini langsung datangnya dari Allah Ta’ala, bahkan orang yang
tidak mau ikut hijrah padahal mereka sanggup, oleh Allah Ta’ala disebut sebagai
orang yang menganiaya dirinya sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka
menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para
Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa (4): 97)
Yang dimaksud dengan orang yang Menganiaya diri sendiri di sini, ialah
orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka
sanggup. mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka
pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam
peperangan itu. Imam Adh Dhahak mengatakan mereka adalah orang-orang munafiq
yang memang berselisih dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
justru mereka ikut bersama kaum musyrikin ketika perang Badar. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 2/389. Dar An Nasyr wat Tauzi’)
Hijrah secara bahasa artinya At Tarku (meninggalkan). Secara
syariat, hijrah adalah Al Intiqal min baladil Kufri ilaa baladil Islam, wa
min dar asy syirki ilaa dar at tauhid, wa min dar al khauf ilaa dar al amn
(pindah dari negeri kufur menuju negeri Islam, dan dari negeri syirik menuju
negeri tauhid, dan dari negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman).
Para ulama berbeda pendapat,
apakah hijrah itu wajib atau sunah? Namun pendapat yang lebih kuat adalah
hijrah dari sebuah tempat di mana seorang muslim yang tidak dapat menjalankan
agamanya secara sempurna adalah wajib.
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه :“dan
barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.”
Makna ‘dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya’
yakni menginginkan kenikmatan kehidupan dunia seperti kekayaan, pangkat,
perniagaan, jabatan, perhiasan, dan godaan dunia lainnya. Makna ‘maka
hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu’ yakni dia akan
mendapatkan dunia yang diinginkannya itu, tetapi dia tidak mendapatkan Allah
dan RasulNya.
F. Pembahasan Konten yang
berkaitan dengan tema
Urgensi Niat dan Ikhlas dalam ibadah Sholat
Syarat Syah Sholat tergantung pada
niatnya. Niat, yaitu: النية قصد الشيء مقترنا بفعله
Yang
berarti bermaksud melakukan suatu perkara disertai mengerjakannya saat itu
juga. Tempat niat adalah di dalam hati, sedangkan mengucapkannya hukumnya
sunnat. Hukum niat adalah wajib dalam setiap ibadah yang diperlukan adanya
niat, kecuali dalam memandikan mayit, maka niatnya sunat.
Niat takan terlaksana tanpa adanya
keikhlasan.Tetapi ketika kita berniat hendaklah dibarengi dengan ikhlas karena
Allah SWT. karena jika niatnya untuk wanita maka niat itu bukanlah untuk Allah,
melainkan untuk wanita yang diniatkannya. Karena menurut Hasan al-Banna
keikhlasan merupakan kunci keberhasilan
“Ikhlas
itu kunci keberhasilan. Para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali
karena kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan mereka..” (Hasan
al-Banna)
Sebagian ulama ada yang mengatakan “berniat sholat saja sudah
merupakan syah sholat”, memang syah dalam hal niat, namun kita pahami lagi arti
dari niat yakni bermaksud melakukan suatu perkara disertai
mengerjakannya saat itu juga. Adapun yang tidak disertai mengerjakannya itu
disebut Azam.
G.
Poin dan Pelajaran yang bisa diambil
1.
Hadits ini berisikan
sesuatu yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas. Amal harus ada
niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima.
2. Hadits ini pula yang dijadikan oleh para ulama sebagai parameter untuk
membedakan (tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah,
dan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.
3. Hadits ini juga menegaskan betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab
keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah
diketahui. Bahkan amal yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, baik
karena ingin dipuji, ingin ketenaran, ingin harta dunia, dan semisalnya, akan
membuat pelakunya celaka.
A.
Nash
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلعم يقول : ان اول
الناس يقضى ىوم القىا مة عليه رجل استشهد فاتي به فعر فه نعمته فعر فها ر . قال :
فما عملت فيها ؟ قال : قا تلت فيك حتى استشهد ت, قال : كدبت ولكنك قا تلت لان يقال
هو جر يئ , فقد قيل ثم امربه فسحب على وجهه حتى القي في النار . و رجل تعلم العلم
وعلمه فقرا القران فاتي به فعرفه نعمه فعرفها , قال : فما عملت فيها ؟ قال : تعلمت
العلم و علمته و قرات فيك القران , قال : كدبت ولكنك تعلمت ليقال عالم, وقرات
القران ليقال هو قا رئ فقد قيل , ثم امر به فيحسب حتى القي في النار ورجل وسمع
الله عليه واعطاه من اصنا ف الما ل فا تي به فعرفه نعمه فعرفها . قال : فما عملت
فيها ؟ قال : ما تركت من سبيل تحب ان ينفق فيها الا انفقت فيها لك قال : كدبت و
لكنك فعلت ليقال هو جوا د , فقد قيل : ثم امر به فسحب على وجهه حتى القي فى النار
.
B.
Terjemah
“ Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku mendengar Rasululloh Saw.
bersabda; “Sesengguhnya manusia yang paling awal diberi keputusan nanti pada
hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid, lalu didatangkan
dengannya lantas Alloh menunjukan ni’mat karunia Nya, kemudian ia melihat akan
ni’mat itu, Alloh berfirman: “Apa yang telah kamu perbuat didalamnya?”, ia
menjawab: “ Aku telah berperang dijalan
Engkau sehingga aku mati syahid”, Alloh berfirman “Kamu dusta, tetapi kamu
berperang itu dikarenakan agar dinamakan orang lain” Ia seorang pemberani,
kemudian dikatakan dan diperintah dengannya lantas ditarik dan ditelengkupkan
mukannya hingga dilemparkan kedlam api neraka. Seorang laki-laki yang menuntut
ilmu pengetahuan lalu megajarkannya dan membaca al-qur’an, lau didatangkan
dengannya lantas Alloh menunjukan nikmat karuniannya,kemudian ia melihat akan
nimat itu,Alloh berfirman: “Apa yang telah kamu perbuat didalammya? “Ia
menjawab: “Aku telah menuntut ilmu pengetahuan dan mengajarkannya dan membaca
al-qur’an untuk engkau”, Alloh berfirman: “ Kamu dusta, tetapi kamu menuntut
ilmu pengetahuan itu dikarenakan sebagai seorang yang alim dan kamu membaca
al-qur’an dikarenakan agar dinamakan sebagai seorang ahli pembaca”, kemudian
dikatakan dan diperintahkan dengannya lantas ditarik dan ditelungkupkan
mukannya hingga dilemparkan kedalam api neraka. Dan seorang laki-laki yang
Alloh berikan kepdannya dan kelapangan yang diberinya bermacam macam harta
benda, lalu didatangkan dengannya lantas Alloh mendatangkan ni’mat karuniannya,
kemudian ia melihat akan ni’mat itu”, “kemudian ia melihat akan nikmat itu “,
Allah berfirman : “apa yang telah kamu perbuat didalamnya ? “, ia menjawab :
“aku tiada meninggalkan satu jalan pun yang engkau cintai untuk berinfaq didalamnya
melainkan aku berinfaq didalamnya untuk engkau “, Allah berfirman :” kamu
dusta, tetapi kamu berbuat yang demikian itu dikarenakan agar kamu dinamakan
seorang yang dermawan “ , kemuadian dikatakan dan diperintahkan dengannya
lantas ditarik dan ditelungkupkan mukanya hingga dilempar kedalam api neraka
“.
C.
Takhrijul
Hadits
Hadits
ini diriwayatkan oleh :
1.
Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar
(VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).
2.
An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari’, Sunan Nasa-i
(VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).
Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi
(I/418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no.
8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih at Targhib wat
Tarhib (I/114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II/658 no. 2940).
Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi
dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja’a fir Riya’ was Sum’ah , no. 2382;
Tuhfatul Ahwadzi (VII/54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482
dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham’an- dan al Hakim (I/418-419).
D.
Pembahasan
konten yang berkaitan dengan Tema
1. Orang yang Berjihad Bukan Karena Agama
Berikut bunyi
hadits tersebut, dari Abu Hurairah ra ia berkata, aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang
diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan
di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, 'Amal apakah
yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' ia menjawab, 'Aku berperang
semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman: 'Engkau
dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang
demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu
dilemparkan ke dalam neraka."
2. Orang Berilmu dan Pembaca Alquran
Orang yang
berilmu dan orang yang membaca Alquran juga adalah orang yang pertama kali
mendapatkan hisab dan pertama kali masuk neraka. Namun, yang dimaksud disini adalah
orang yang berilmu tersebut berharap agar ia disebut sebagai orang yang alim,
pintar dan sebagainya dan orang orang yang membaca Alquran tersebut adalah
orang yang membaca Alquran dan berharap dirinya dapat disebut sebagai qari dan
hafiz.
Melanjutkan hadits
diatas, Rasulullah bersabda: "Berikutnya orang (yang diadili) adalah
seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, 'Amal apakah yang telah engkau
lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab, 'Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta aku membaca Alquran hanyalah karena Engkau.' Allah
berfirman, 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim
(yang berilmu) dan engkau membaca Alquran supaya dikatakan seorang qari’
(pembaca Alquran yang baik) dan hafiz. Memang begitulah yang dikatakan (tentang
dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan
melemparkannya ke dalam neraka."
Oleh karena
itu, janganlah pernah mengharapkan pujian dari orang lain atas kemampuan yang
kita miliki sehingga memunculkan sifat sombong dalam diri dan membuat pahala
yang kita dapatkan hilang karena hal itu.
3. Orang yang Bersadaqah tapi Mengharap Pujian
Kemudian orang
yang ketiga adalah orang yang Allah berikan karunia berupa harta benda dan
kekayaan, kemudian ia menggunakan harta tersebut dijalan Allah untuk kebaikan
seperti bersedekah, membantu fakir miskin dan lain sebagainya tapi ia
melakukannya hanya karena ingin dianggap sebagai orang yang murah hati, maka
Allah akan langsung melemparkannya kedalam neraka dan orang-orang seperti itu
termasuk dalam golongan ahli neraka.
Sabda
Rasulullah melanjutkan hadits diatas, "Berikutnya (yang diadili) adalah
orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, 'Apa yang engkau telah lakukan
dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab, 'Aku tidak pernah meninggalkan
shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku
melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berkata, 'Engkau dusta! Engkau
berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam
neraka," [HR. Muslim, shahih].
Itulah 3
golongan orang yang akan pertama kali dihisab dan golongan pertama pula yang
masuk neraka. Oleh sebab itu, maka hendaknya kita ketika melakukan ibadah
niatkanlah dengan ikhlas dan hanya mengharap ridha dari Allah SWT agar tidak
termasuk dalam golongan orang-orang tersebut.
Hadits di atas
menjelaskan tentang ditolaknya suatu amal karena dilandasi dengan riya. Syarat
pokok diterima suatu amal shalih adalah ikhlas karena Allah semata, dan amal
tersebut harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Inilah dua landasan amal
yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam."
Hadits di atas menjelaskan tentang adanya tiga golongan manusia
yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah.
Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena riya, ingin
mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya, kelak dihari pengadilan,
wajahnya diseret secara tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka.
E.
Poin
dan Pelajaran yang bisa diambil
1.
Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang
dan demi mendapatkan sanjungan- adalah dosa yang sangat diharamkan dan sangat
berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]). Riya’ merupakan bahaya yang
lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpa orang-orang
salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda,
“Maukah
kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang
kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya
Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri
menunaikan sholat lantas membagus-baguskan sholatnya karena merasa dirinya
diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Bushiri berkata
sanadnya hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid [2/55]).
2.
Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas
dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang telah Allah perintahkan dalam ayat
(yang artinya),
“Tidaklah
mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan amal
untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5) (lihat
Syarh Muslim [6/531])
3.
Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain
yang bersifat umum yang menyebutkan keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi
orang-orang yang berjihad secara ikhlas. Demikian pula pujian-pujian yang
ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar berinfak dalam kebaikan
hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas karena Allah
(lihat Syarh Muslim [6/531-532])
4.
Sesungguhnya
ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus
terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tidak
akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan
sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali
sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan
-musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143)
5.
Keikhlasan
merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam
menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata,
“Tidak
ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena
di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
Sebagian salaf
berkata,
“Tidaklah
aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada
perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])
6.
Tercela
dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan
tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka
dia pasti tidak akan mendapatkan bau -harum- surga pada hari kiamat kelak.”
(HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 22)
7.
Amalan
yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah
ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan
selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)
A.
Nash
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا
مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا
لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
B.
Terjemahan Hadits
Artinya :
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah Allah,
(tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia
tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.”
C.
Takhrij Hadits
رقـم
|
في ابـواب
|
كـتب
|
3179
|
فِي طَلَبِ الْعِلْمِ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى (Dalam penerapan ilmu pengetahuan untuk selain
Allah SWT)
|
سنـن ابي داود (Sunan Abi Dawood)
|
248
|
الِانْتِفَاعِ بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ بِهِ (Pemanfaatan ilmu dan kerja yang dilakukan)
|
سنـن ابن ماجه(Sunan IbnuMajah)
|
8103
|
مسند أَبِي هُرَيْرَةَ (Musnad Abu Hurairah)
|
مسند احـمد (Musnad Ahmad)
|
119
|
–
|
مصنفابن ابي شيبـة(Musonif Ibnu Abi Shaybah)
|
264, 265
|
كتاب العلم (Kitab Pengetahuan)
|
المستدراك على الصحيحين (Mustadrak untuk memperbaiki)
|
6242
|
–
|
مسند ابن يعلي(MusnadIbnu Ya’li)
|
78
|
ذكر وصف العلم الذي يتوقع دخول النار في القيامة لمن طلبه (Deskripsi menyatakan ilmu
pengetahuan, yang diperkirakan akan memasuki api dalam kebangkitan yang
mempelajarinya)
|
صحيح ابن حـبان (Shahih Ibnu Hibban)
|
Luka dan amandemen
|
lapisan Alroat
|
سـند الحديـث (dukungan bicara)
|
menjaga kepercayaan
|
Kbaralakhven diikuti untuk pengikut
|
Abu Bakar bin Abi Shaybah COFFEE
|
kepercayaan dunia
|
Kbaralakhven diikuti untuk pengikut
|
Srij bin Nu'man ibn Marwan
|
Sadok banyak kesalahan
|
Bar pengikut pengikut Anda
|
فليح بن سليمان بن أبى المغيرة (Falih bin Sulaiman bin Abi Mughoiroh)
|
Kepercayaan
|
من صغار التابعين (Dari sebagian kecil pengikut)
|
عبد الله بن عبد الرحمن بن معمر (Abdullah Bin Abdul Rahman Bin Muammar)
|
Kepercayaan yang rumit
|
من الوسطى من التابعين (Dari tengah pengikut)
|
سعيد بن يسار أبو الحباب المدنى (Sa’id bin Yasar Abu Hubab Madani)
|
صحابى ، كان حافظا متثبتا ذكيا مفتيا ، صاحب صيام و قيام
|
صحابى (sahabi)
|
أبو هريرة الدوسى اليمانى (Abu Hurairah Aldosy Yamani)
|
وإسناده ضعيف لضعف فليح بن
سليمان ، وقد خولف في هذا الحديث فرواه من هو أقوى منه مرسلاً ، قال الإمام
الدارقطني : (( المرسل أشبه بالصواب )).
“Dan dikaitkan dengan lemah lemah Falih bin Sulaiman,
memiliki Julv di zaman modern ini diriwayatkan oleh yang lebih kuat daripada mengirimkan,
Imam Daarul qutni mengatakan: ((seperti pengirim kanan)).”
D.
Pembahasan Konten yang
berhubungan dengan tema
Hadits diatas menerangkan
larangan menuntut ilmu untuk tujuan duniawi. Ali bin Abi Thalib melarang bagi
seseorang didalam menuntut ilmu untuk tujuan duniawi maupun pribadi, ia pernah
berkata :”Janganlah mencari ilmu kerana 4 sebab berikut:
- Untuk membangga diri di hadapan orang yang alim,
- Untuk berdebat dengan orang yang jahil.
- Untuk memamerkan diri kepada manusia.
- Untuk menarik perhatian manusia demi menjamin kedudukan”.
Imam Ali bin Abi Thalib
pernah berkata pula: “Tiadalah kebanggaan yang sebenarnya melainkan bagi
orang-orang yang berilmu kerana mereka sentiasa berada di atas jalan hidayah,
mereka menunjukkan jalan hidayah kepada orang-orang yang memintanya. Memadailah
ukuran bagi setiap seseorang itu kebaikan yang dilakukan sedangkan orang yang
jahil senantiasa memusuhi orang-orang berilmu. Maka rebutlah kesempatan
menuntut ilmu supaya kita dapat hidup selamanya kerana pada hakikatnya, manusia
itu semuanya mati sedangkan orang-orang yang berilmu akan terus hidup.”
Seseorang yang berminat
mencari ilmu, sebagai langkah permulaan, perlu menjalani proses penyucian jiwa
(Tazkiyah an-Nafs), menambahkan taqwa di dalam jiwanya, membebaskan dirinya
dari niat yang tidak baik dan tidak benar, bertujuan duniawi serta sentiasa
bermuhasabah diri.
Harus diingat bahwa takut
kepada Allah adalah ciri khusus para ulama’ dan barang siapa yang tidak
memiliki ciri-ciri ini, ia dianggap berada di luar lingkungan mereka yang
berilmu tanpa mempedulikan apapun kelebihan ilmu yang ia miliki.
Pada setiap langkah
menuntut ilmu, seseorang itu haruslah memperbanyakkan meditasi dan merenung
tujuan utama ia mencari ilmu. Ilmu yang diraih seharusnya menjadikan kita lebih
berakhlak, ikhlas dalam perbuatan dan membuatkan kita semakin mencintai
dan takut kepada Allah. Ilmu yang tidak disertai oleh tindakan dan perbuatan
yang baik bukanlah ilmu dalam arti kata yang sebenarnya.
Ilmu yang terbatas semata
mata pada kata-kata dan tidak digunakan untuk berkhidmat kepada makhluk Allah
adalah serendah-rendah ilmu dan akan hilang bersama berlalunya masa.
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada
kami suraij bin An Nu’man telah menceritakan kepada kami fulaih dari Abu
Thuwalah Abdhullah bin Abdurrahman dari sa’id bin yasar dari Abu Hurairah ia
berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempelajari suatu ilmu karena
Allah Azza Wa Jalla,namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian
dari dunia,maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat.”
Dalam Riwayat lain tentang Hadis diatas yaitu:
1 . Menurut Ibnu Majah dalam Hadist nomor 248
“Barang
siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya
kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan
bau surga.” Abu Al Hasan berkata: telah memberitakan kepada kami Abu Hatim
berkata,telah menceritakan kepada sa’id bin manshur berkata,telah menceritakan
kepada kami fulaih bin sulaim lalu ia menyebutkan sebagaimana hadist diatas.”
2. Menurut Ahmad dalam Hadis nomor 8103
“Barang
siapa belajar ilmu yang seharusnya dicari karena wajah Allah,tapi ia tidak
mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan di dunia,maka pada hari
kiamat ia tidak akan mencium aroma surga.”suraij menyebutkan dalam riwayatnya :
“yaitu baunya surga.”
Jika kita menuntut ilmu
dengan ridho Allah, akan tetapi ilmu tersebut tidak dipelajari, tidak diamalkan
namun hanya untuk tujuan mencari kesenangan duniawi (nikmat dunia), maka Allah
tidak akan memberikan surga, bahkan harumnya surgapun tidak akan tercium. Maka
marilah kita menuntut ilmu karena allah, dan kita pelajari ilmu yang kita
peroleh karena Allah sebagai bekal hidup kita di dunia dan di akherat.
Berkata
Hasan Basri rahimahullahu (seorang tabi`in): barang siapa menuntut ilmu dalam
rangka mencari akhirat maka dia akan mendapatkan akhirat tersebut dan baarang
siapa yang mencari ilmu dalam rangka mencari dunia maka itulah hasil yang dia
peroleh. Kemudian dalam suatu hadist dari Abu Hurairoh Rasulullah bersabda: barang
siapa menuntut ilmu yang mana ilmu tersebut tidak boleh diselewengkan selain
untuk Allah tapi dia menuntut ilmu tersebut untuk mendapatkan dunia maka dia
tidak akan mendapatkan baunya Surga pada hari qiamat nanti. (HR.
Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim)
Hadits
ini adalah ancaman bagi para penuntu ilmu yang tidak ikhlas karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu agama bukan ilmu
dunia. Kalau mencari ilmu dunia dengan niat untuk mencari dunia tidaklah
masalah, tapi akan lebih baik kalau mencari ilmu dunia seperti ilmu sains,
kedokteran, pertanian dan lain sebagainya diniatkan karena Allah taala untuk
membantu kaum muslimin. Syaik Utsaimin pernah ditanya dalam kitabul ilmi
bagaimana seseorang mencari ilmu dunia dengan niat untuk mencari dunia beliau
menjawab tidak mengapa karena yang dimaksud dalam hadits ini ilmu akhirat bukan
ilmu dunia.
Sedikitnya
ilmu dengan ketaqwaan dan keikhlasan itu sudah banyak tetapi walaupun banyaknya
ilmu tanpa ketaqwaan dan keikhlasan maka itu sangat sedikit. Jadi dengan taqwa
itulah ilmu akan menjadi berkah dan bermanfaat. Allah berfiman:
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah niscaya dia akan memberikan furqon (kemampuan membedakan
antara yang benar dan yang salah) kepadamu ( QS.
Al-Anfal: 29).
Jadi
peran niat dalam menuntut ilmu sangat penting jika niatnya ikhlas untuk mencari
ilmu karena Allah maka ilmu akan diperolehnya namun jika niatnya untuk dunia
maka tidak akan memperoleh ilmunya bahkan ancaman Allah terhadapnya tidak akan
mencium bau Surga pada hari qiamat nanti.
E.
Poin dan Pengajaran yang
bisa diambil
- Kewajiban untuk ikhlas dalam mencari ilmu dan dengan niat hanya untuk
mencari ridha Allah.
- Barangsiapa yang mencari ilmu karena Allah kemudian ia mendapatkan
keuntungan duniawi, maka diperbolehkan untuk mengambilnya dan tidak
berdosa.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu
hadist, ilmu bahasa ‘arab, ilmu sains seperti perubatan, kejuruteraan, ilmu
perundangan dan sebagainya adalah termasuk dalam ilmu yg tidak diwajibkan untuk
dituntuti tetapi tidaklah dikatakan tidak perlu kerana ia adalah daripada ilmu
fardhu kifayah. Begitu juga dengan ilmu berkaitan tarekat ia adalah sunat dipelajari
tetapi perlu difahami bahwa yg paling aula (utama) ialah mempelajari ilmu
fardhu ‘ain terlebih dahulu. Tidak mempelajari ilmu fardhu ‘ain adalah suatu
dosa kerana ia adalah perkara yg wajib bagi kita untuk dilaksanakan dan
mempelajari ilmu selainnya tiadalah menjadi dosa jika tidak dituntuti, walau
bagaimanapun mempelajarinya amat digalakkan. Ilmu yang diamalkan sesuai dengan
perintah-perintah syara’. Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya
wajib ‘ain dan adakalnya wajib kifayah. Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum
mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu
tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Ilmu yang wajib ‘ain dipelajari oleh
mukallaf yaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan ‘aqidah yang wajib dipercayai
oleh seluruh muslimin, dan yang perlu di ketahui untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.
Komentar
Posting Komentar