Contoh Makalah - Revolusi Pendidikan Demi Karakter Bangsa Indonesia






MAKALAH
Revolusi Pendidikan Demi Karakter Bangsa Indonesia
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia
Bapak Iwan
Oleh : Kelompok IV
PAI A

Acep Luthfi Abdul Aziz
Alpin Aziz Muslim
Annisa Firdausi
Atep Sandi Tahzan Fauzi
Irsan Nurdiansyah
Johar Ma’mun
Lutfhi Salma Gozali
Mugi Laksono
Muhammad Pahad
Nofiem Taufiqul Akbar
Yusuf Bachtiar


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TASIKMALAYA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Alloh SWT. Dia-lah yang telah menganuerahkan Al-Qur’an sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi seluruh manusia) dan rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi segenap alam). Dia-lah yang maha mengetahui makna dan maksud kandungan Al-Qur’an. Jika Alloh memberikan petunjuk pada seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, jika dia menyesatkan seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberikan petunjuk kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., yang menjadi utusan dan manusia pilihan-Nya. Dia-lah sebagai penyampai, pengamal, dan penafsir pertama Al-Qur’an. Dia-lah yang membawa pencerahan pada masa jahiliah yang betapa hancurnya nilai-nilai keagamaan dan kesosialan.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya-lah makalah Revolusi Pendidikan Demi Karakter Bangsa Indonesia ini dapat diselesaikan. Tulisan-tulisan dalam makalah ini merupakan tugas perkelompok dari dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia yang diambil dari internet dan buku-buku para pakar ilmu tentang Pendidikan.
Merupakan suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Khususnya untuk penulis sendiri. Kritik dan saran dari pembaca akan sangat perlu untuk memperbaiki dalam penyusunan makalah dan akan diterima dengan senang hati. Serta semoga makalah ini tercatat sebagai amal shaleh dan menjadi motivator bagi penulis untuk menyusun makalah yang lebih baik dan bermanfaat. Amin.
                                                                                             


                                                                                                            Penulis,







KATA PENGANTAR ……………………………………………..………………… !
DAFTAR ISI …………….………………………………………….……………….. !!
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ………………………………………..…….……………….… 1
B.     Rumusan Masalah .………………………………………………………….…. 2
C.     Tujuan ………………………………………………………………………..… 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Revolusi Pendidikan …………………………..……………………… 3
B. Revolusi Pendidikan di Indonesia ……………………………………………..…. 3
C. Pendidikan di Indonesia ………………………………………………………..… 5
D. Pengajaran di Indonesia …………………………………………………….……. 7
E.  Pengertian Karakter Bangsa ……………………………………………………… 8
F.  Karakter Bangsa Indonesia ……………………………………………………….10
G. Pengajaran Pendidikan yang Cocok di Indonesia ……………………………….. 12
BAB III PENUTUPAN
A.    Kesimpulan ……………….…………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 18







BAB I
A.    Latar Belakang
Mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya tenaga pengajar. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia seperti dilaporkan dalam Musyawarah Nasional LPTK di Bandung (1994) menunjukkan bahwa selama hampir dua dasawarsa terakhir, yang "memilih" masuk IKIP/LPTK bukannya kelompok top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU, dengan perbedaan skor yang sangat signifikan antara pelamar. Universitas dan pelamar IKIP/LPTK. Itu berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan.
Dapatkah kita membulatkan tekad untuk menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi pendidik dan pengajar? Kalau begitu harus ada pula kebijakan yang meningkatkan pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.
Kecuali itu harus ada kebijakan yang jelas mengenai pendidikan guru. Kebijakan sekitar IKIP/LPTK yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa kita tidak memiliki arah yang jelas. Bagaimanapun dari seorang pengajar dan pendidik dituntut: penguasaan materi ajaran, dan penguasaan pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan/pengajaran. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan guru harus mengupayakan kedua hal ini secara imbang.
Mengingat tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama. Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian. Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.
Akhirnya revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya. Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang diperhatikan.
Semua diserahkan kepada negara dan pejabatnya. Penentuan kebijakan oleh Negara lebih memperhatikan aspek-aspek politis-administratif daripada aspek pedagogis, psikologis dan metodologis. Penyelenggara dan pengelola pendidikan yang umumnya terhimpun dalam Yayasan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk berprakarsa dan mengupayakan pendidikan yang paling sesuai dengan tuntutan zaman.
Negara menggoreskan kebijakan dan petunjuk umum, yang merupakan rambu-rambu penjamin hak-hak warga sehubungan dengan pendidikan. Di luar itu segala sesuatu diserahkan kepada kebijakan penyelenggara dan pengelola. Mereka akan menyusun rencana dan strategi untuk menyajikan pendidikan yang paling baik dan paling relevan. Ada cukup banyak penyelenggara dan pengelola yang bermutu dan bertanggung jawab.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Revolusi Pendidikan?
2.      Bagaimana Pendidikan di Indonesia?
3.      Apa itu Karakter Bangsa?
4.      Bagaimana Karakter Bangsa Indonesia?
5.      Bagaimana Cara Pengajaran di Indonesia?

C.     Tujuan
1.      Agar Pembaca dapat mengetahui apa itu Revolusi Pendidikan
2.      Agar Pembaca mengetahui bagaimana Pendidikan di Indonesia
3.      Agar Pembaca mengetahui Karakter Bangsa
4.      Agar Pembaca mengetahui bagaimana karakter bangsa Indonesia
5.      Agar Pembaca mengetahui bagaimana Cara Pengajaran di Indonesia











BAB II

A.    Pengertian Revolusi Pendidikan
Revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud), dahulu bernama Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Di Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.

B.     Revolusi Pendidikan di Indonesia
Revolusi pendidikan di Indonesia adalah revolusi gaya belajar para siswa dan revolusi gaya mengajar oleh para guru. Sistem pendidikan tradisional sudah menunjukkan banyak kelemahan hampir dari semua aspek yang melingkupinya.
Baru-baru ini seorang professor pendidikan dari Harvard University, Howard Gardner, mengenalkan delapan jenis kecerdasan; kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan jasmani-kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Delapan jenis kecerdasan tersebut menghasilkan jawara-jawara di bidangnya masing-masing, sebut saja Goenawan Muhammad ataupun K.H. Abdullah Gymnastiar dengan kecerdasan linguistiknya, Albert Einstein ataupun pakar telematika Roy Suryo dengan kecerdasan logika-matematikanya, Affandi ataupun Basuki Abdullah dengan kecerdasan visual-spasialnya, Melly Goeslow ataupun Dhani Ahmad dengan kecerdasan musikalnya, Susi Susanti ataupun Dedy Mizwar dengan kecerdasan jasmani-kinestetiknya, Purdhi E. Chandra ataupun Andy F. Noya dengan kecerdasan interpersonalnya, Eleanor Rosevelt dengan kecerdasan intrapersonalnya, dan sebut juga Prof. Hembing dengan kecerdasan naturalisnya.
Tetapi ironisnya, segala perbedaan latar belakang dari jenis kecerdasan-kecerdasan yang cemerlang tersebut harus diukur dengan sebuah alat yang sama di bangku pendidikan kita, nilai matematis dan linguistis.
Seakan-akan para olahragawan, musisi, pelukis, ahli matematika, pemasar, orator, arsitek, penulis, akuntan, ahli hukum, politisi, ahli permata, juru masak, dokter dan programmer komputer yang berprestasi cemerlang semuanya punya bakat yang sama.
Manusia masing-masing memiliki rangkaian otak dan kemampuan yang berbeda-beda, preferensi yang tidak sama satu dengan lainnya, sehingga manusia juga akan menerima informasi, menyimpan pengetahuan, dan mengambilnya kembali dengan cara yang berbeda-beda, ringkasnya setiap manusia masing-masing memiliki gaya belajar dan memahami sesuatu secara berbeda.
Ketika preferensi gaya belajar yang berbeda-beda tersebut difasilitasi hanya dengan satu model kelas tradisional – anak harus duduk tegak dan diam, belajar hanya dengan mendengar dan membaca, dan anak dituntut memahami permasalahan dengan satu cara, yakni cara guru – yang tentu saja menyebabkan beberapa hal:
– memenjarakan tubuh dalam wilayah yang terbatas
– memenjarakan energi pada kegiatan yang terbatas
– membatasi stimulasi indra
– membatasi interaksi sosial
– membatasi pengalaman-pengalaman di kelas
– menomorduakan inisiatif atas hal-hal lainnya
maka bisa dipastikan akibat yang fatal terjadi pada pribadi anak, terutama yang memiliki preferensi gaya belajar berbeda, timbullah kecemasan, frustasi, kebosanan, ketegangan, dan penurunan motivasi anak.

“tidak ada yang lebih tidak adil dari perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang
berbeda” Dr. K. Dunn
Maka mutlak revolusi gaya belajar diperlukan.
Revolusi gaya belajar tidak akan pernah terjadi jika tidak didukung dengan revolusi gaya mengajar oleh para guru.

tidak mungkin akan ada inovasi penting dalam pendidikan apabila tidak berpusat pada sikap guru-gurunya, keyakinan, asumsi, perasaan para guru, semua itulah yang membentuk atmosfer dalam lingkungan belajar; yang menentukan kualitas pendidikan

Postman dan Weingartner
bukan anak yang harus memikul tanggung jawab dalam belajar, melainkan guru yang memikul tanggung jawab dalam mengidentifikasi kekuatan gaya belajar setiap anak, lalu mencocokkan semua itu dengan lingkungan dan pendekatan yang responsif” Dr. Rita Dunn

C.     Pendidikan di Indonesia
Pendidikan kekinian identik dengan pendidikan era globalisasi. Pada masa era globalisasi ini semua aktivitas lini kehidupan dipengaruhi oleh tekhnologi. Perkembangan tekhnologi yang sangat pesat berdampak pada budaya kehidupan manusia. Kegiatan dan perilaku manusia dilengkapi dengan alat yang super canggih, semua aktivitas dapat dilakukan dengan serba cepat, dan dapat menembus ruang dan waktu. Dunia seakan tanpa batas, dunia hanya selebar daun  kelor (Jawa). Begitu juga dengan dunia pendidikan dan proses pembelajaran tidak dapat luput dari pemanfaatan alat tekhnologi. Melihat fenomena kehidupan dan perilaku manusia seperti yang tertulis di atas maka era seperti tersebut sekarang ini disebut dengan era globalisasi. Sztompka (2004: 101-102), mengatakan bahwa globalisasi dapat diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Artinya, masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung pada semua aspek kehidupan baik secara budaya, ekonomi, maupun politik, sehingga cakupan saling ketergantungan benar-benar mengglobal. Pengertian globalisasi tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan Irwan Abdullah (2006: 107). Menurutnya, budaya global ditandai dengan adanya integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi dasar dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi.
Dari dua pendapat di atas sudah sangat nyata dalam kehidupan di masyarakat kita bahwa perkembangan globalisasi telah membawa pengaruh yang sangat signifikan khususnya dunia pendidikan di tanah air tercinta ini. Memang globalisasi bukan hanya berdampak pada perubahan perilaku positif tapi juga berdampak pada perubahan perilaku negatif. Justru yang terjadi sekarang ini dan yang paling dominan membawa perubahan perilaku adalah dampak negatif dari globalisasi. Di dunia pendidikan nampak dengan jelas perubahan perilaku negatif seorang pelajar. Hampir sebagian pelajar kalau tidak boleh dikatakan semua, sekarang ini sudah berperilaku menyimpang dari agama. Mereka dengan terang-terangan melakukan tindakan yang dilarang oleh agama dan negara, melakukan tindakan perampokan, pembegalan dengan tanpa dosa, sadisme sesama teman, porno aksi, sedangkan para pelajar perempuan banyak yang hamil di luar nikah. Intinya perilaku para pelajar sudah sangat jauh dari karakter seorang muslim, sepertinya mereka sudah tidak lagi meyakini bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban- Nya kelak, dengan kata yang ekstrim harus dikatakan bahwa mereka sudah mengarah kepada tidak percaya kepada hari akhir. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut dan dianggap hal yang wajar karena dampak dari globalisasi maka generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang lemah sehingga masa depan bangsa ini akan mengikuti hancurnya generasi negeri ini. Untuk itulah pembenahan generasi harus segera dilakukan agar generasi kita bangkit untuk membenahi negeri ini! Bagaimanakah membangun kebangkitan generasi emas? Pendidikan yang bagaimanakah yang dibutuhkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah persoalan yang harus segera diselesaikan. Penyelesaian persoalan pendidikan bukanlah menyelesaikan masalah secara linear tetapi persoalan pendidikan adalah persoalan kompleks. Yang paling urgent untuk dibenahi adalah pendidikan karakter yaitu membangun karakter generasi Indonesia yaitu karakter seorang pelajar yang intelek, sopan, patuh pada orang tua, menghargai orang, bersaudara, gotong royong dan menjalankan syariat Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Dengan karakter seperti terurai di atas maka satu dekade yang akan datang generasi kita adalah generasi kebangkitan emas yang akan membawa negeri tercinta ini seperti yang dikatakan nenek moyang bangsa Indonesia yaitu gemah ripah loh jinawi. Namun harus diakui bahwa kegagalan generasi kita saat ini bukan kesalahan generasinya tapi yang paling bertanggung jawab adalah yang menuntun, mengarahkan, dan membangun generasi. Orang-orang inilah yang harus intropeksi diri. Untuk membangun kebangkitan generasi emas, maka banyak hal yang harus dilakukan oleh steakholders pendidikan.

D.    Pengajaran di Indonesia
a.       Guru
Perilaku para pelajar saat ini yang sudah jauh menyimpang dari syariat Islam dan memiliki mental yang lemah, menganggap semua bisa didapat dengan mudah sesuai keinginannya. Perilaku generasi seperti tersebut bukan dikarenakan kesalahan generasinya tapi yang perlu intropeksi adalah pelaku pendidikannya. Dari sini maka yang perlu kita cermati adalah bagaimanakah karakter pendidiknya? Apakah para pelajar sudah diberikan ilmu yang mendalam berkenaan dengan ketauhidan?Apakah seorang guru sudah menjadi uswatunhasanah bagi para muridnya? Apakah proses pendidikan sudah kontekstual? Inilah yang harus intropeksi terlebih dulu sebelum kita mencari kesalahan dari generasi sekarang ini.
Marilah kita tengok sebentar beberapa berita menyangkut perilaku guru yang pernah termuat di media. Sungguh pilu dan memalukan, seorang guru telah berbuat menyimpang dari syariat Islam. Perilaku guru yang menyimpang yang pernah saya baca di media misal, guru menghamili muridnya, guru berselingkuh dengan sesama teman guru, guru mengkonsumsi narkoba bahkan dengan terang-terangan kadang dilakukan di area pendidikan dan pada saat proses guru memberikan ilmu kepada muridnya, Masyaallah, Astagfirullah!
“          peranan guru bukan sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku dan sumber nilai yang menuntut tanggung jawab dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriyah maupun yang bersifat batiniah (fisik dan non fisik). Artinya yang dibangun adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas iman, kualitas kerja, kualitas hidup, kualitas pikiran, perasaan, dan kemauan (Chomaidi, 2005: 3)”. K.H. Hasyim Asyari dalam Adab al-alim wa al-muta’allim, mengatakan bahwa diantara etika pendidik terhadap peserta didik salah satunya adalah berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar; tunjukkan sikap arif dan tawadhu’ketika memberi bimbingan kepada peserta didik; dan menghormati peserta didik dengan memanggil namanya yang baik.
Jika guru sendiri belum bisa memberikan keteladanan dengan baik, apakah mungkin ilmu yang diberikan akan bisa masuk ke sanubari sang murid dan dapat membangun karakter sang murid? Jadi guru harus kembali ke khitah yaitu menjadi guru yang sejati dan profesional. Sebagai seorang pendidik guru haruslah bisa memberikan keteladanan baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Keteladanan seorang guru dapat ditunjukkan dengan cara berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Guru haruslah orang yang bisa di gugu dan di tiru artinya setiap tutur kata guru harus sesuai dengan perilaku dan perbuatannya. Jadi untuk menjadi seorang guru yang dapat membangkitkan generasi bangsa menuju perubahan negara yang adil dan sejahtera haruslah dapat memberikan keteladanan perilaku dalam menyampaikan ilmu maupun dalam kehidupan bermasyarakat, memberikan ilmu sedalam-dalamnya sehingga akan melahirkan generasi yang berwawasan luas, memberikan ilmu ketauhidan agar menjadi generasi yang beriman dan berakhlakul karimah. Jika hal itu dapat dilakukan maka kebangkitan generasi bangsa seabad tahun yang lalu akan terwujud kembali.

b.      Murid
Sungguh miris dan tidak amsuk akal jika kita melihat perilaku pelajar saat ini. Perilaku yang sudah jauh dari syariat Islam. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang lemah dan kita tinggal menunggu kehancuran negara ini. Untuk itu pada era yang penuh dengan kecanggihan tekhnologi ini yang paling prioritas untuk dibenahi adalah mental, karakter, dan spiritual generasi.
Apa yang yang diberikan kepada generasi agar menjadi generasi yang berkualitas? Apakah yang harus dibangun pada generasi agar memilki jiwa kebangkitan menuju perubahan masyarakat yang beriman dan berakhlakul karimah?
K.H. Hasyim Asyari dalam Adab al-alim wa al-muta’allim, mengatakan bahwa diantara etika peserta didik kepada pendidik salah satunya adalah belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak hanya melalui tulisan-tulisannya semata; mengikuti guru, terutama dalam kecerundungan pemikiran; memuliakan guru; memperhatikan hal-hal yang menjadi hak pendidik; bersabar terhadap kekerasan pendidik; berkunjung kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu; menempati posisi duduk dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengannya; berbicara dengan halus dan lemah lembut; menghafal dan memperhatikan fatwa hukum, nasihat, kisah, dari para guru; jangan sekali-kali menyela ketika guru belum selesai menjelaskan; menggunakan anggota badan yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepada pendidik. Jika peserta didik memiliki sikap dan perilaku seperti yang dijelaskan oleh K.H. Hasyim Asyari maka generasi bangsa akan bangkit menjadi generasi emas yang berkualitas. Bagaimanakah menjadi seorang peserta didik seperti hal tersebut?
Menjadikan generasi memiliki karakter tersebut bukan hanya sekedar memberikan aturan, membacakan reward dan punishment, tetapi dengan memberikan keteladanan. Membangun budaya sekolah yang disiplin, berkarakter sehingga menjadikan generasi yang berkualitas itulah yang segera untuk dilakukan. Bukan hanya sekolah saja yang memiliki peran penting dalam membangun generasi yang berkualitas, namun peran orang tua di rumah tidak bisa diremehkan dan hanya dijadikan secon opini. Untuk itu sinkronisasi antara sekolah dan orang tua harus sejalan. Saat inilah waktu yang tepat untuk melakukan itu sehingga kelak pada satu dekade akan terwujud kebangkitan generasi yaitu generasi Indonesia yang berkualitas.

E.     Pengertian Karakter Bangsa

Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. 
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya bersumber pada nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (1) . Hal ini didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat) dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis. 

Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang totalnya sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (1) . Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”. 
Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat sifat “gotong royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat istilah yang setara dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain. Akan tetapi dalam kurun waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat “gotong-royong” makin pudar dan diganti dengan sifat sifat “individualistik” serta “arogansi pribadi”. Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan “karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini (tahun 2011) sering didengar bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan karakater bangsa nya ? Memang banyak hal-hal yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati berbagai hal yang terkait budaya (“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya maupun terkait faktor ekonomi bangsa. 
Untuk itu, maka adalah tepat adanya “FORUM PEMULIHAN JATIDIRI BANGSA” atau “PELESTARIAN KARAKTER BANGSA” dapat diselenggarakan melalui pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia disemua strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa. Strategi umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian, penegasan kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa harus dicapai melalui pendidikan . 
Disamping melalui pendidikan formal oleh institusi pendidikan, pembangunan sumber daya manusia juga dapat dilaksanakan secara non formal. Disinilah peran pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga juga menjadi semakin penting dilakukan melalui berbagai upaya internalisasi guna membangun karakter dan perkuatan jati diri bangsa, sehingga mampu mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (2) Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki intelektualitas baik, pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki karakter dan jati dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi penerus yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang maju, mandiri dan bermartabat. 
Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan (soft power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru pada era inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena, bangsa yang malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya bangsa itu akan punah. Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya kemerosotan ( ”dekadensi”) moral dan etika, yang akan mewarnai perubahan karakter bangsa. 
Selanjutnya, Akibat dari kemerosotan ini adalah kehidupan bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita menikmati kebebasan dan demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami kemanjuan pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis dan agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi kita rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan 

F.      Karakter  Bangsa Indonesia
INDONESIA, jika berbicara tentang negeri ini pasti tidak akan pernah habisnya, dimulai dari yang positif sampai mengarah ke yang negatif. Bagaimana karakter bangsa kita saat ini? Itulah yang menjadi permasalah utama dalam membangun bangsa ini. Dan tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Karakter adalah sesuatu yang harusnya diketahui tapi sebagian besar kita tidak mau tahu. Sesuatu yang teramat penting, tetapi sebagian kita menganggap remeh. Sesuatu yang amat diperlukan, tapi justru sebagian kita malah menertawainya.
Karakter memang penting, karena karakter adalah fondasi dalam membangun bangsa yang berkualitas. Dengan karakter para pejabat negara tidak akan memakan uang rakyat demi kepentingan pribadi. Dengan karakter seorang guru dapat mewariskan ilmunya dengan baik dan benar tanpa mengharapkan balasan. Seseorang dikatakan berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama. Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang memiliki prinsip ideologi kebangsaan yang eksklusif, berkebudayaan tinggi, memiliki tata krama, sopan santun, toleransi, gotong royong, semangat juang, dan nasionalisme yang tinggi. Hal inilah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang berakar dari pengkajian kebudayaan Nenek Moyang kita
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat Pendidikan, dari SD – Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik  pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:
”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

G.    Pengajaran Pendidikan yang Cocok di Indonesia
a.       Boarding School
Boarding school adalah sistem sekolah dengan asrama, dimana peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu semester diselingi dengan berlibur satu bulan sampai menamatkan sekolahnya (Arsy Karima Zahra, 2008: 145).
Di lingkungan sekolah, para siswa dapat melakukan interaksi dengan sesama siswa, bahkan berinteraksi dengan para guru setiap saat. Contoh yang baik dapat mereka saksikan langsung di lingkungan mereka tanpa tertunda. Dengan demikian, pendidikan kognisi, afektif, dan psikomotor siswa dapat terlatih lebih baik dan optimal.
Boarding School yang baik dijaga dengan ketat agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan atau dengan ciri khas suatu sekolah berasrama” (Arsy Karima Zahra, 2008: 145). Dengan demikian peserta didik terlindungi dari hal-hal yang negatif seperti merokok, narkoba, tayangan film atau sinetron yang tidak mendidik dan sebagainya. Di sekolah dengan sistem ini, para siswa mendapatkan pendidikan dengan kuantitas dan kualitas yang berada di atas rata-rata pendidikan dengan sistem konvensional.
Perbedaan boarding school dengan sekolah umum lainnya adalah kelas di boarding school cenderung sedikit dengan jumlah siswa-siswi yang tidak banyak seperti kelas sekolah umum. Hal ini dilakukan agar para guru bisa melakukan pendekatan ke para siswa-siswi (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Di boarding school bisa mengeluarkan siswa-siswi dari kelas apabila siswa tersebut tidak terlihat minat dalam berpartisipasi dikelas untuk belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Di boarding school kegiatan seperti olahraga atau kesenian tidak temasuk dalam kegiatan ektrakulikuler, mereka mencakup semua aspek belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009).

Boarding school menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan siswa. Lengkapnya fasilitas yang ada untuk menyalurkan bakat dan hobi siswa-siswi. Siswa-siswi di boarding schoolmemiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kepentingan, mengambil  bidang yang diminati, dan menunjukkan bakat mereka (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). 

Dalam sistem pendidikan boarding school seluruh peserta didik wajib tinggal dalam satu asrama. Oleh karena itu, guru atau pendidik lebih mudah mengontrol perkembangan karakter peserta didik. Dalam kegiatan kurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, baik di sekolah, asrama dan lingkungan masyarakat dipantau oleh guruguru selama 24 jam. Kesesuaian sistem boarding-nya, terletak pada semua aktivitas siswa yang diprogramkan, diatur dan dijadwalkan dengan jelas. Sementara aturan kelembagaannya sarat dengan muatan nilai-nilai moral.

b.      Pesantren
Seiring dengan perkembangan zaman di era teknologi informasi dan kemajuan iptek yang semakin tidak terbendung lagi, pesantren sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, harus senantiasa melakukan pengembangan, terutama di bidang manajemen dan kurikulum pendidikan. Pengembangan pesantren tentu tidak terlepas dari adanya pelbagai kendala yang harus dihadapi. Dewasa ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terkait hal ini, Saifuddin Amir (2006) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang sedang dan akan dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peran pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di pelosok. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren.
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian.
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan “bisnis” pendidikan. Tetapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya akeh sing ora iso ngaji. Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi “makhluk hidup” yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.
Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak ke arah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal



















BAB III

A.    Kesimpulan

Sebagai penanggung jawab dan pengambil kebijakan dalam pendidikan di Indonesia, maka pihaka pemerintah tidak serta-merta menyerahkan sepenuhnya pembangunan karakter generasi kepada sekolah dan atau masyarakat. Pihak pemerintah diharapkan dapat memberikan support melalui regulasi yang mendukung pembangunan generasi. Regulasi yang bagaimanakah yang dimaksud? Yaitu regulasi yang diperuntukan bagi sekolah dan guru, baik itu pembinaan proses pedagogik maupun konsekuensi tegas jika melakukan pelanggaran yang merusak generasi bangsa, memperbanyak budaya membaca kisah-kisah yang mengndung motivasi dan sebagainya. Sedangkan regulasi untuk orang tua atau masyarakat adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk membangun generasi bangsa. Edukasi tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa sampai dengan tingkat RW/RT. Edukasi tersebut dapat berupa penyuluhan, sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Orde baru untuk menyukseskan gerakan KB (Keluarga Berencana). Gerakan tersebut dapat diadopsi dengan mengubah menjadi gerakan KB (Karakter Bangsa). Untuk melakukan hal ini pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi agar melibatkan mahasiswa untuk terjun di masyarakat.















DAFTAR PUSTAKA









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan sebuah peristiwa Presipitasi