Contoh Makalah - Revolusi Pendidikan Demi Karakter Bangsa Indonesia
Revolusi
Pendidikan Demi Karakter Bangsa Indonesia
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari dosen mata kuliah Sejarah
Pendidikan Indonesia
Bapak
Iwan

Oleh : Kelompok IV
PAI A
Acep Luthfi Abdul Aziz
Alpin Aziz Muslim
Annisa Firdausi
Atep Sandi Tahzan Fauzi
Irsan Nurdiansyah
Johar Ma’mun
Lutfhi Salma Gozali
Mugi Laksono
Muhammad Pahad
Nofiem Taufiqul Akbar
Yusuf Bachtiar
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TASIKMALAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Alloh SWT. Dia-lah yang telah menganuerahkan Al-Qur’an sebagai
hudan li al-nas (petunjuk bagi seluruh manusia) dan rahmatan li al-‘alamin
(rahmat bagi segenap alam). Dia-lah yang maha mengetahui makna dan maksud
kandungan Al-Qur’an. Jika Alloh memberikan petunjuk pada seseorang, maka tidak
ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, jika dia menyesatkan
seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberikan petunjuk kepada-Nya.
Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., yang menjadi utusan dan
manusia pilihan-Nya. Dia-lah sebagai penyampai, pengamal, dan penafsir pertama
Al-Qur’an. Dia-lah yang membawa pencerahan pada masa jahiliah yang betapa
hancurnya nilai-nilai keagamaan dan kesosialan.
Dengan
pertolongan dan hidayah-Nya-lah makalah Revolusi Pendidikan Demi Karakter
Bangsa Indonesia ini dapat diselesaikan. Tulisan-tulisan dalam makalah ini
merupakan tugas perkelompok dari dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan
Indonesia yang diambil dari internet dan buku-buku para pakar ilmu tentang
Pendidikan.
Merupakan
suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Khususnya untuk penulis sendiri. Kritik dan saran dari pembaca akan sangat
perlu untuk memperbaiki dalam penyusunan makalah dan akan diterima dengan
senang hati. Serta semoga makalah ini tercatat sebagai amal shaleh dan menjadi
motivator bagi penulis untuk menyusun makalah yang lebih baik dan bermanfaat.
Amin.
Penulis,
KATA PENGANTAR ……………………………………………..………………… !
DAFTAR ISI …………….………………………………………….……………….. !!
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ………………………………………..…….……………….… 1
B.
Rumusan Masalah .………………………………………………………….…. 2
C.
Tujuan ………………………………………………………………………..… 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Revolusi
Pendidikan …………………………..……………………… 3
B.
Revolusi Pendidikan di
Indonesia ……………………………………………..…. 3
C.
Pendidikan di
Indonesia ………………………………………………………..… 5
D.
Pengajaran di
Indonesia …………………………………………………….……. 7
E.
Pengertian Karakter
Bangsa ……………………………………………………… 8
F.
Karakter Bangsa
Indonesia ……………………………………………………….10
G.
Pengajaran Pendidikan
yang Cocok di Indonesia ……………………………….. 12
BAB III PENUTUPAN
A.
Kesimpulan ……………….…………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 18
BAB
I
A. Latar
Belakang
Mutu
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya
tenaga pengajar. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia seperti dilaporkan dalam
Musyawarah Nasional LPTK di Bandung (1994) menunjukkan bahwa selama hampir dua
dasawarsa terakhir, yang "memilih" masuk IKIP/LPTK bukannya kelompok
top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU, dengan perbedaan skor yang
sangat signifikan antara pelamar. Universitas dan pelamar IKIP/LPTK. Itu
berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang
mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan.
Dapatkah
kita membulatkan tekad untuk menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi
pendidik dan pengajar? Kalau begitu harus ada pula kebijakan yang meningkatkan
pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan
jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga
berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.
Kecuali
itu harus ada kebijakan yang jelas mengenai pendidikan guru. Kebijakan sekitar
IKIP/LPTK yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa kita tidak
memiliki arah yang jelas. Bagaimanapun dari seorang pengajar dan pendidik
dituntut: penguasaan materi ajaran, dan penguasaan pedagogik, didaktik dan
metodologi pendidikan/pengajaran. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan
guru harus mengupayakan kedua hal ini secara imbang.
Mengingat
tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina
kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan
menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama.
Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang
kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian.
Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.
Akhirnya
revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan
dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari
cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan
hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya.
Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua
yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang
diperhatikan.
Semua
diserahkan kepada negara dan pejabatnya. Penentuan kebijakan oleh Negara lebih
memperhatikan aspek-aspek politis-administratif daripada aspek pedagogis,
psikologis dan metodologis. Penyelenggara dan pengelola pendidikan yang umumnya
terhimpun dalam Yayasan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk berprakarsa dan
mengupayakan pendidikan yang paling sesuai dengan tuntutan zaman.
Negara
menggoreskan kebijakan dan petunjuk umum, yang merupakan rambu-rambu penjamin
hak-hak warga sehubungan dengan pendidikan. Di luar itu segala sesuatu
diserahkan kepada kebijakan penyelenggara dan pengelola. Mereka akan menyusun
rencana dan strategi untuk menyajikan pendidikan yang paling baik dan paling
relevan. Ada cukup banyak penyelenggara dan pengelola yang bermutu dan bertanggung
jawab.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Revolusi Pendidikan?
2. Bagaimana
Pendidikan di Indonesia?
3. Apa
itu Karakter Bangsa?
4. Bagaimana
Karakter Bangsa Indonesia?
5. Bagaimana
Cara Pengajaran di Indonesia?
C. Tujuan
1. Agar
Pembaca dapat mengetahui apa itu Revolusi Pendidikan
2. Agar
Pembaca mengetahui bagaimana Pendidikan di Indonesia
3. Agar
Pembaca mengetahui Karakter Bangsa
4. Agar
Pembaca mengetahui bagaimana karakter bangsa Indonesia
5. Agar
Pembaca mengetahui bagaimana Cara Pengajaran di Indonesia
BAB
II
A. Pengertian
Revolusi Pendidikan
Revolusi
merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang
ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap
elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana
revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi
tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya.
Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan
kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari
revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini
menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian
terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan
museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara
yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China,
Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian
integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan
menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar
peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi
presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh
diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di
negeri itu.
Pendidikan di Indonesia adalah
seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun
tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud), dahulu bernama
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Di Indonesia,
semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan
tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia
diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama,
yaitu formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat
jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.
B. Revolusi Pendidikan di Indonesia
Revolusi pendidikan di Indonesia adalah revolusi gaya
belajar para siswa dan revolusi gaya mengajar oleh para guru. Sistem pendidikan
tradisional sudah menunjukkan banyak kelemahan hampir dari semua aspek yang
melingkupinya.
Baru-baru ini seorang professor pendidikan dari Harvard
University, Howard Gardner, mengenalkan delapan jenis kecerdasan;
kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial,
kecerdasan musikal, kecerdasan jasmani-kinestetik, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Delapan jenis kecerdasan tersebut menghasilkan jawara-jawara
di bidangnya masing-masing, sebut saja Goenawan Muhammad ataupun K.H. Abdullah
Gymnastiar dengan kecerdasan linguistiknya, Albert Einstein ataupun pakar telematika
Roy Suryo dengan kecerdasan logika-matematikanya, Affandi ataupun Basuki
Abdullah dengan kecerdasan visual-spasialnya, Melly Goeslow ataupun Dhani Ahmad
dengan kecerdasan musikalnya, Susi Susanti ataupun Dedy Mizwar dengan
kecerdasan jasmani-kinestetiknya, Purdhi E. Chandra ataupun Andy F. Noya dengan
kecerdasan interpersonalnya, Eleanor Rosevelt dengan kecerdasan
intrapersonalnya, dan sebut juga Prof. Hembing dengan kecerdasan naturalisnya.
Tetapi ironisnya, segala perbedaan latar belakang dari jenis
kecerdasan-kecerdasan yang cemerlang tersebut harus diukur dengan sebuah alat
yang sama di bangku pendidikan kita, nilai matematis dan linguistis.
Seakan-akan para olahragawan, musisi, pelukis, ahli
matematika, pemasar, orator, arsitek, penulis, akuntan, ahli hukum, politisi,
ahli permata, juru masak, dokter dan programmer komputer yang berprestasi
cemerlang semuanya punya bakat yang sama.
Manusia masing-masing memiliki rangkaian otak dan kemampuan
yang berbeda-beda, preferensi yang tidak sama satu dengan lainnya, sehingga
manusia juga akan menerima informasi, menyimpan pengetahuan, dan mengambilnya
kembali dengan cara yang berbeda-beda, ringkasnya setiap manusia masing-masing
memiliki gaya belajar dan memahami sesuatu secara berbeda.
Ketika preferensi gaya belajar yang berbeda-beda tersebut
difasilitasi hanya dengan satu model kelas tradisional – anak harus duduk
tegak dan diam, belajar hanya dengan mendengar dan membaca, dan anak dituntut
memahami permasalahan dengan satu cara, yakni cara guru – yang tentu saja
menyebabkan beberapa hal:
– memenjarakan tubuh dalam wilayah
yang terbatas
– memenjarakan energi pada kegiatan
yang terbatas
– membatasi stimulasi indra
– membatasi interaksi sosial
– membatasi pengalaman-pengalaman di
kelas
– menomorduakan inisiatif atas
hal-hal lainnya
maka bisa dipastikan akibat yang fatal terjadi pada pribadi
anak, terutama yang memiliki preferensi gaya belajar berbeda, timbullah
kecemasan, frustasi, kebosanan, ketegangan, dan penurunan motivasi anak.
“tidak ada yang lebih tidak adil dari perlakuan yang sama
terhadap orang-orang yang
berbeda” Dr. K. Dunn
Maka
mutlak revolusi gaya belajar diperlukan.
Revolusi gaya belajar tidak akan pernah terjadi jika tidak
didukung dengan revolusi gaya mengajar oleh para guru.
“tidak mungkin akan ada inovasi
penting dalam pendidikan apabila tidak berpusat pada sikap guru-gurunya,
keyakinan, asumsi, perasaan para guru, semua itulah yang membentuk atmosfer
dalam lingkungan belajar; yang menentukan kualitas pendidikan”
Postman dan Weingartner
“bukan anak yang harus memikul
tanggung jawab dalam belajar, melainkan guru yang memikul tanggung jawab dalam
mengidentifikasi kekuatan gaya belajar setiap anak, lalu mencocokkan semua itu
dengan lingkungan dan pendekatan yang responsif” Dr. Rita Dunn
C. Pendidikan
di Indonesia
Pendidikan kekinian identik dengan pendidikan era
globalisasi. Pada masa era globalisasi ini semua aktivitas lini kehidupan
dipengaruhi oleh tekhnologi. Perkembangan tekhnologi yang sangat pesat
berdampak pada budaya kehidupan manusia. Kegiatan dan perilaku manusia
dilengkapi dengan alat yang super canggih, semua aktivitas dapat dilakukan
dengan serba cepat, dan dapat menembus ruang dan waktu. Dunia seakan tanpa
batas, dunia hanya selebar daun kelor (Jawa). Begitu juga dengan
dunia pendidikan dan proses pembelajaran tidak dapat luput dari pemanfaatan
alat tekhnologi. Melihat fenomena kehidupan dan perilaku manusia seperti yang
tertulis di atas maka era seperti tersebut sekarang ini disebut dengan era
globalisasi. Sztompka (2004: 101-102), mengatakan bahwa globalisasi dapat
diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Artinya, masyarakat
di seluruh dunia menjadi saling tergantung pada semua aspek kehidupan baik
secara budaya, ekonomi, maupun politik, sehingga cakupan saling ketergantungan
benar-benar mengglobal. Pengertian globalisasi tersebut tidak jauh berbeda
dengan apa yang pernah dikemukakan Irwan Abdullah (2006: 107). Menurutnya,
budaya global ditandai dengan adanya integrasi budaya lokal ke dalam suatu
tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi dasar dalam
pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan
ekspresi.
Dari dua pendapat di atas sudah sangat nyata dalam kehidupan
di masyarakat kita bahwa perkembangan globalisasi telah membawa pengaruh yang
sangat signifikan khususnya dunia pendidikan di tanah air tercinta ini. Memang
globalisasi bukan hanya berdampak pada perubahan perilaku positif tapi juga
berdampak pada perubahan perilaku negatif. Justru yang terjadi sekarang ini dan
yang paling dominan membawa perubahan perilaku adalah dampak negatif dari
globalisasi. Di dunia pendidikan nampak dengan jelas perubahan perilaku negatif
seorang pelajar. Hampir sebagian pelajar kalau tidak boleh dikatakan semua,
sekarang ini sudah berperilaku menyimpang dari agama. Mereka dengan
terang-terangan melakukan tindakan yang dilarang oleh agama dan negara,
melakukan tindakan perampokan, pembegalan dengan tanpa dosa, sadisme sesama
teman, porno aksi, sedangkan para pelajar perempuan banyak yang hamil di luar
nikah. Intinya perilaku para pelajar sudah sangat jauh dari karakter seorang
muslim, sepertinya mereka sudah tidak lagi meyakini bahwa Allah akan meminta
pertanggungjawaban- Nya kelak, dengan kata yang ekstrim harus dikatakan bahwa
mereka sudah mengarah kepada tidak percaya kepada hari akhir. Jika hal ini
dibiarkan berlarut-larut dan dianggap hal yang wajar karena dampak dari
globalisasi maka generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang lemah sehingga
masa depan bangsa ini akan mengikuti hancurnya generasi negeri ini. Untuk
itulah pembenahan generasi harus segera dilakukan agar generasi kita bangkit
untuk membenahi negeri ini! Bagaimanakah membangun kebangkitan generasi emas?
Pendidikan yang bagaimanakah yang dibutuhkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah persoalan yang harus
segera diselesaikan. Penyelesaian persoalan pendidikan bukanlah menyelesaikan
masalah secara linear tetapi persoalan pendidikan adalah persoalan kompleks.
Yang paling urgent untuk dibenahi adalah pendidikan karakter yaitu membangun
karakter generasi Indonesia yaitu karakter seorang pelajar yang intelek, sopan,
patuh pada orang tua, menghargai orang, bersaudara, gotong royong dan
menjalankan syariat Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Dengan
karakter seperti terurai di atas maka satu dekade yang akan datang generasi
kita adalah generasi kebangkitan emas yang akan membawa negeri tercinta ini
seperti yang dikatakan nenek moyang bangsa Indonesia yaitu gemah ripah loh
jinawi. Namun harus diakui bahwa kegagalan generasi kita saat ini bukan
kesalahan generasinya tapi yang paling bertanggung jawab adalah yang menuntun,
mengarahkan, dan membangun generasi. Orang-orang inilah yang harus intropeksi
diri. Untuk membangun kebangkitan generasi emas, maka banyak hal yang harus
dilakukan oleh steakholders pendidikan.
D. Pengajaran di Indonesia
a. Guru
Perilaku para pelajar saat ini yang sudah jauh menyimpang
dari syariat Islam dan memiliki mental yang lemah, menganggap semua bisa
didapat dengan mudah sesuai keinginannya. Perilaku generasi seperti tersebut
bukan dikarenakan kesalahan generasinya tapi yang perlu intropeksi adalah
pelaku pendidikannya. Dari sini maka yang perlu kita cermati adalah
bagaimanakah karakter pendidiknya? Apakah para pelajar sudah diberikan ilmu
yang mendalam berkenaan dengan ketauhidan?Apakah seorang guru sudah menjadi
uswatunhasanah bagi para muridnya? Apakah proses pendidikan sudah kontekstual?
Inilah yang harus intropeksi terlebih dulu sebelum kita mencari kesalahan dari
generasi sekarang ini.
Marilah
kita tengok sebentar beberapa berita menyangkut perilaku guru yang pernah
termuat di media. Sungguh pilu dan memalukan, seorang guru telah berbuat
menyimpang dari syariat Islam. Perilaku guru yang menyimpang yang pernah saya
baca di media misal, guru menghamili muridnya, guru berselingkuh dengan sesama
teman guru, guru mengkonsumsi narkoba bahkan dengan terang-terangan kadang
dilakukan di area pendidikan dan pada saat proses guru memberikan ilmu kepada
muridnya, Masyaallah, Astagfirullah!
“ peranan guru bukan sekedar komunikator
nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku dan sumber nilai yang menuntut
tanggung jawab dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan
manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriyah maupun yang bersifat batiniah
(fisik dan non fisik). Artinya yang dibangun adalah karakter, watak, pribadi
manusia yang memiliki kualitas iman, kualitas kerja, kualitas hidup, kualitas
pikiran, perasaan, dan kemauan (Chomaidi, 2005: 3)”. K.H. Hasyim Asyari dalam Adab al-alim wa al-muta’allim,
mengatakan bahwa diantara etika pendidik
terhadap peserta didik salah satunya adalah berniat mendidik dan menyebarkan
ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; guru hendaknya memiliki
keihlasan dalam mengajar; tunjukkan sikap arif dan tawadhu’ketika
memberi bimbingan kepada peserta didik; dan menghormati peserta didik dengan
memanggil namanya yang baik.
Jika guru sendiri belum bisa memberikan keteladanan dengan
baik, apakah mungkin ilmu yang diberikan akan bisa masuk ke sanubari sang murid
dan dapat membangun karakter sang murid? Jadi guru harus kembali ke khitah
yaitu menjadi guru yang sejati dan profesional. Sebagai seorang pendidik guru
haruslah bisa memberikan keteladanan baik di lingkungan sekolah maupun
lingkungan masyarakat. Keteladanan seorang guru dapat ditunjukkan dengan cara
berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain,
kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Guru haruslah orang yang
bisa di gugu dan di tiru artinya setiap tutur kata guru harus sesuai dengan
perilaku dan perbuatannya. Jadi untuk menjadi seorang guru yang dapat
membangkitkan generasi bangsa menuju perubahan negara yang adil dan sejahtera
haruslah dapat memberikan keteladanan perilaku dalam menyampaikan ilmu maupun
dalam kehidupan bermasyarakat, memberikan ilmu sedalam-dalamnya sehingga akan
melahirkan generasi yang berwawasan luas, memberikan ilmu ketauhidan agar
menjadi generasi yang beriman dan berakhlakul karimah. Jika hal itu dapat
dilakukan maka kebangkitan generasi bangsa seabad tahun yang lalu akan terwujud
kembali.
b. Murid
Sungguh miris dan tidak amsuk akal jika kita melihat
perilaku pelajar saat ini. Perilaku yang sudah jauh dari syariat Islam. Jika
hal ini dibiarkan berlarut-larut maka generasi bangsa ini akan menjadi generasi
yang lemah dan kita tinggal menunggu kehancuran negara ini. Untuk itu pada era
yang penuh dengan kecanggihan tekhnologi ini yang paling prioritas untuk
dibenahi adalah mental, karakter, dan spiritual generasi.
Apa yang
yang diberikan kepada generasi agar menjadi generasi yang berkualitas? Apakah
yang harus dibangun pada generasi agar memilki jiwa kebangkitan menuju
perubahan masyarakat yang beriman dan berakhlakul karimah?
K.H. Hasyim Asyari dalam Adab al-alim wa al-muta’allim,
mengatakan bahwa diantara etika peserta didik kepada pendidik salah satunya
adalah belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak
hanya melalui tulisan-tulisannya semata; mengikuti guru, terutama dalam
kecerundungan pemikiran; memuliakan guru; memperhatikan hal-hal yang menjadi
hak pendidik; bersabar terhadap kekerasan pendidik; berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu; menempati posisi duduk dengan
rapih dan sopan bila berhadapan dengannya; berbicara dengan halus dan lemah
lembut; menghafal dan memperhatikan fatwa hukum, nasihat, kisah, dari para
guru; jangan sekali-kali menyela ketika guru belum selesai menjelaskan;
menggunakan anggota badan yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepada pendidik.
Jika peserta didik memiliki sikap dan perilaku seperti yang dijelaskan oleh
K.H. Hasyim Asyari maka generasi bangsa akan bangkit menjadi generasi emas yang
berkualitas. Bagaimanakah menjadi seorang peserta didik seperti hal tersebut?
Menjadikan generasi memiliki karakter tersebut bukan hanya
sekedar memberikan aturan, membacakan reward dan punishment, tetapi dengan
memberikan keteladanan. Membangun budaya sekolah yang disiplin, berkarakter
sehingga menjadikan generasi yang berkualitas itulah yang segera untuk dilakukan.
Bukan hanya sekolah saja yang memiliki peran penting dalam membangun generasi
yang berkualitas, namun peran orang tua di rumah tidak bisa diremehkan dan
hanya dijadikan secon opini. Untuk itu sinkronisasi antara sekolah dan orang
tua harus sejalan. Saat inilah waktu yang tepat untuk melakukan itu sehingga
kelak pada satu dekade akan terwujud kebangkitan generasi yaitu generasi
Indonesia yang berkualitas.
E. Pengertian Karakter Bangsa
Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang
membedakannya dengan bangsa lain.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang
masih dalam tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya
bersumber pada nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (1) . Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti
yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta
tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika
Serikat) dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis
terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah
merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.
Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama
sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia
yang totalnya sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (1) . Jumlah penduduk yang
besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya
berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi
negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”.
Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat
sifat “gotong royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat
istilah yang setara dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain.
Akan tetapi dalam kurun waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat
“gotong-royong” makin pudar dan diganti dengan sifat sifat “individualistik”
serta “arogansi pribadi”. Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan
“karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini (tahun 2011) sering didengar bahwa
bangsa Indonesia telah kehilangan karakater bangsa nya ? Memang banyak hal-hal
yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati berbagai hal yang terkait budaya
(“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya maupun terkait faktor ekonomi
bangsa.
Untuk itu, maka adalah tepat adanya “FORUM PEMULIHAN
JATIDIRI BANGSA” atau “PELESTARIAN KARAKTER BANGSA” dapat diselenggarakan
melalui pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia
disemua strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa.
Strategi umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian,
penegasan kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa harus dicapai
melalui pendidikan .
Disamping melalui pendidikan formal oleh institusi
pendidikan, pembangunan sumber daya manusia juga dapat dilaksanakan secara non
formal. Disinilah peran pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga
juga menjadi semakin penting dilakukan melalui berbagai upaya internalisasi
guna membangun karakter dan perkuatan jati diri bangsa, sehingga mampu
mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (2) Dalam
mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki intelektualitas baik,
pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki karakter dan jati
dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi penerus yang
mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang maju, mandiri dan
bermartabat.
Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan (soft
power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan
ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti
suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru
pada era inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena,
bangsa yang malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak
bangsa lain. Ia akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya
bangsa itu akan punah. Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya
kemerosotan ( ”dekadensi”) moral dan etika, yang akan mewarnai perubahan
karakter bangsa.
Selanjutnya, Akibat dari kemerosotan ini adalah kehidupan
bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita menikmati kebebasan dan
demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami kemanjuan
pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar
kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis
dan agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi
kita rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan
F. Karakter Bangsa Indonesia
INDONESIA, jika berbicara tentang negeri ini pasti tidak akan pernah
habisnya, dimulai dari yang positif sampai mengarah ke yang negatif. Bagaimana
karakter bangsa kita saat ini? Itulah yang menjadi permasalah utama dalam membangun
bangsa ini. Dan tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Karakter adalah
sesuatu yang harusnya diketahui tapi sebagian besar kita tidak mau tahu.
Sesuatu yang teramat penting, tetapi sebagian kita menganggap remeh. Sesuatu
yang amat diperlukan, tapi justru sebagian kita malah menertawainya.
Karakter memang penting, karena karakter adalah fondasi dalam
membangun bangsa yang berkualitas. Dengan karakter para pejabat negara tidak
akan memakan uang rakyat demi kepentingan pribadi. Dengan karakter seorang guru
dapat mewariskan ilmunya dengan baik dan benar tanpa mengharapkan balasan.
Seseorang dikatakan berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai
moral dan agama. Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang memiliki prinsip
ideologi kebangsaan yang eksklusif, berkebudayaan tinggi, memiliki tata krama,
sopan santun, toleransi, gotong royong, semangat juang, dan nasionalisme yang
tinggi. Hal inilah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang berakar dari
pengkajian kebudayaan Nenek Moyang kita
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional
sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat
Pendidikan, dari SD – Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad
Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter
sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah
untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter
dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara
pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri
Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa
dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum
berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang
menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau
sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi
mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar
tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang
diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya
sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan.
Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas
pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib
dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal
ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan
pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur,
ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan
lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus
dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang
ideal.
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik
pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia
Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik.
Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program
terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia
pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang
beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan
pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof.
Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak
memiliki pribadi yang unggul:
”Banyak
guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang
dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab
dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya,
diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak
mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak
kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang
banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan
keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter
bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail
Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum
manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab,
berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros,
suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar
Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
G. Pengajaran
Pendidikan yang Cocok di Indonesia
a. Boarding
School
Boarding school adalah sistem sekolah dengan asrama,
dimana peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama
yang berada dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu
semester diselingi dengan berlibur satu bulan sampai menamatkan sekolahnya
(Arsy Karima Zahra, 2008: 145).
Di
lingkungan sekolah, para siswa dapat melakukan interaksi dengan sesama siswa,
bahkan berinteraksi dengan para guru setiap saat. Contoh yang baik dapat mereka
saksikan langsung di lingkungan mereka tanpa tertunda. Dengan demikian,
pendidikan kognisi, afektif, dan psikomotor siswa dapat terlatih lebih baik dan
optimal.
“Boarding School yang baik dijaga dengan ketat
agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan sistem
pendidikan atau dengan ciri khas suatu sekolah berasrama” (Arsy Karima Zahra,
2008: 145). Dengan demikian peserta didik terlindungi dari hal-hal yang negatif
seperti merokok, narkoba, tayangan film atau sinetron yang tidak mendidik dan
sebagainya. Di sekolah dengan sistem ini, para siswa mendapatkan pendidikan
dengan kuantitas dan kualitas yang berada di atas rata-rata pendidikan dengan
sistem konvensional.
Perbedaan boarding school dengan sekolah umum lainnya adalah
kelas di boarding school cenderung sedikit dengan jumlah siswa-siswi
yang tidak banyak seperti kelas sekolah umum. Hal ini dilakukan agar
para guru bisa melakukan pendekatan ke para siswa-siswi (Gaztambide-Fernández,
Rubén, 2009). Di boarding school bisa mengeluarkan siswa-siswi dari
kelas apabila siswa tersebut tidak terlihat minat dalam berpartisipasi dikelas
untuk belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Di boarding school
kegiatan seperti olahraga atau kesenian tidak temasuk dalam kegiatan
ektrakulikuler, mereka mencakup semua aspek belajar (Gaztambide-Fernández,
Rubén, 2009).
Boarding
school menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan siswa.
Lengkapnya fasilitas yang ada untuk menyalurkan bakat dan hobi siswa-siswi.
Siswa-siswi di boarding schoolmemiliki kesempatan untuk mengeksplorasi
berbagai kepentingan, mengambil bidang yang diminati, dan menunjukkan
bakat mereka (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009).
Dalam sistem pendidikan boarding school seluruh
peserta didik wajib tinggal dalam satu asrama. Oleh karena itu, guru atau
pendidik lebih mudah mengontrol perkembangan karakter peserta didik. Dalam
kegiatan kurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, baik di sekolah, asrama dan
lingkungan masyarakat dipantau oleh guruguru selama 24 jam. Kesesuaian sistem boarding-nya,
terletak pada semua aktivitas siswa yang diprogramkan, diatur dan dijadwalkan
dengan jelas. Sementara aturan kelembagaannya sarat dengan muatan nilai-nilai
moral.
b. Pesantren
Seiring dengan perkembangan zaman di era teknologi informasi dan
kemajuan iptek yang semakin tidak terbendung lagi, pesantren sebagai sebuah
lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, harus
senantiasa melakukan pengembangan, terutama di bidang manajemen dan kurikulum pendidikan.
Pengembangan pesantren tentu tidak terlepas dari adanya pelbagai kendala yang
harus dihadapi. Dewasa ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan
dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terkait hal ini, Saifuddin Amir (2006) berpendapat bahwa ada
beberapa hal yang sedang dan akan dihadapi pesantren dalam melakukan
pengembangannya, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan
sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir
masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.
Kedua, sarana
dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari
segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat
pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya
santri.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam
bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan
eksistensi dan peran pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat,
diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya
manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan
dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan
networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan
akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali
pesantren-pesantren yang berada di pelosok. Ketimpangan antar pesantren besar
dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting
dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pesantren
dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi
yang masih belum optimal.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu
menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian
pesantren.
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan
masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan
pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan
yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya
cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang
bersifat keahlian.
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang
dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan “bisnis” pendidikan.
Tetapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan
coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal
itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi
sekarang ini, lulusannya akeh sing ora iso ngaji. Idealnya pesantren ke depan harus
bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
kesalafannya.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di
Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga
menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan
boarding school. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang
di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan
nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah
didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan
teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk
menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan
rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah
hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan
dari pagi hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi “makhluk
hidup” yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika
yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah
model pendidikan yang cukup tua.
Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan
mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu
keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari
perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas
masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama
di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana
masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar
satu klan atau marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen. Hal
ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam
pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong
pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka
yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan
pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong
niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi
pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan
akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak
ke arah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan
semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi
negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani.
Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka.
Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem
pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah
menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak
didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan
sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen
yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni
menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding
school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup
tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik
melalui berbagai layanan dan fasilitas. Dari segi semangat religiusitas,
boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani
dan ruhani, intelektual dan spiritual.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai
model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin
serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga,
pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang
handal
BAB III
A. Kesimpulan
Sebagai penanggung
jawab dan pengambil kebijakan dalam pendidikan di Indonesia, maka pihaka
pemerintah tidak serta-merta menyerahkan sepenuhnya pembangunan karakter
generasi kepada sekolah dan atau masyarakat. Pihak pemerintah diharapkan dapat
memberikan support melalui regulasi yang mendukung pembangunan generasi.
Regulasi yang bagaimanakah yang dimaksud? Yaitu regulasi yang diperuntukan bagi
sekolah dan guru, baik itu pembinaan proses pedagogik maupun konsekuensi tegas
jika melakukan pelanggaran yang merusak generasi bangsa, memperbanyak budaya
membaca kisah-kisah yang mengndung motivasi dan sebagainya. Sedangkan regulasi
untuk orang tua atau masyarakat adalah dengan memberikan edukasi kepada
masyarakat untuk membangun generasi bangsa. Edukasi tersebut dapat dilakukan
mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa sampai
dengan tingkat RW/RT. Edukasi tersebut dapat berupa penyuluhan, sebagaimana
pernah dilakukan pada zaman Orde baru untuk menyukseskan gerakan KB (Keluarga
Berencana). Gerakan tersebut dapat diadopsi dengan mengubah menjadi gerakan KB
(Karakter Bangsa). Untuk melakukan hal ini pemerintah dapat menjalin kerjasama
dengan Perguruan Tinggi agar melibatkan mahasiswa untuk terjun di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar